Cerita Anak "Musim Rambutan"
Musim Rambutan
oleh: Andi Dwi Handoko
Minggu
pagi, suasana di rumah Pak Anton agak sibuk daripada hari biasanya. Pak Anton
dan keluarganya akan berkunjung ke rumah kerabatnya yang ada di sebuah desa
kecil di Tawangmangu. Pak Anton sibuk memanaskan mobil, sedangkan istrinya
sibuk membuat sarapan dan mempersiapkan oleh-oleh untuk kerabatnya. Di saat Pak
Anton dan istrinya sibuk dengan urusan masing-masing, anak tunggal mereka
justru masih kamar.
Teringat
anaknya yang belum kelihatan batang hidungnya, Pak Anton pun meninggalkan
sementara mobilnya dan menuju ke dapur yang tak jauh dari garasi mobil.
“Ma..Tiyo
sudah bangun belum?” Pak Anton bertanya pada istrinya.
“Aduh,
Mama tidak tahu. Coba Papa lihat ke kamarnya, soalnya ini Mama masih sibuk di
dapur.”
Pak
Anton pun meninggalkan dapur dan menuju kamar Tiyo. Ternyata kamarnya masih
terkunci.
“Tiyo…!
Kamu sudah bangun? tanya Pak Anton sambil mengetuk pintu kamar Tiyo.
Karena
tidak ada jawaban dari dalam, Pak Anton pun mengulangi pertanyaannya
berkali-kali sambil tetap mengetuk pintu. Namun, belum ada tanggapan dari dalam
kamar. Ia pun semakin keras memanggil Tiyo. Sepertinya Tiyo memang belum bangun
dari tidurnya.
“Tiyo…Ayo
bangun! Mau ikut ke Tawangmangu tidak? Kalau kamu terlambat bangun, nanti kamu
Papa tinggal di rumah sendirian lho! Ayo bangun!”
Tak
berapa lama, Tiyo membuka pintu kamarnya dengan wajah yang sayu. Terlihat
kelopak matanya masih belum segar karena baru saja bangun dari tidur.
“Maaf
Pa, Tiyo bangun kesiangan. Tadi malam nonton bola sampai larut. Habis,
pertandingannya seru sih… Jadi rasanya sayang kalau ditinggal tidur.”
“Ya
sudah, sana cepat mandi dan beres-beres. Kita nanti berangkat pukul 07.00.”
“Eh Pa, katanya di kebun Paman Har,
rambutannya sedang berbuah banyak ya?”
“Iya,
ini kan sedang musim rambutan.
Makanya cepat mandi sana, nanti di sana kamu bisa memetik rambutan dari pohon
dan memakannya langsung!”
“Hore…asyik-asyik….”
teriak Tiyo sambil berlari menuju kamar mandi.
Tepat
pukul 07.00 keluarga Pak Anton meninggalkan rumahnya yang ada di Solo dengan
menggunakan mobil. Minggu pagi, jalanan agak sepi. Bagi Tiyo, ini adalah
perjalanan yang menyenangkan. Mendekati Kota Tawangmangu, jalannya sangat
menyenangkan karena banyak jalanan menanjak dan berkelok. Selain itu,
pemandangannya sangat bagus.
Kurang
dari dua jam, mereka sampai di rumah Paman Har. Desa Paman Har sangat asri.
Hawanya sejuk karena berada di daerah pegunungan. Dari sana terlihat Gunung Lawu yang menjulang dengan gagahnya.
“Tiyo…
Apa kabarmu? Wah, ponakan Paman ini sekarang tambah gemuk.”
“Kabar
baik Paman, di sini hawanya enak ya, adem.” kata Tiyo kepada Paman Har.
“Ya
jelas dingin, soalnya ini dataran tinggi. Dekat dengan Gunung Lawu,” sela Pak
Anton.
Mereka
pun dipersilakan masuk rumah oleh Paman Har. Sampai ruang tamu, anak-anak Paman
Har sudah menyambut mereka. Semua tampak ceria. Tiyo tampak senang karena ia
bertemu dengan teman yang sebaya dengannya, yaitu Risty dan Roby. Risty dan
Roby langsung mengajak Tiyo bermain di luar rumah.
Tiyo
diajak Risty dan Roby bermain ke kebun belakang rumah. Di sana ada banyak pohon
rambutan yang sedang berbuah banyak. Ada yang masih hijau dan kuning, tetapi
banyak juga yang sudah masak berwarna merah dan mengundang selera untuk dimakan.
“Wah,
banyak sekali rambutannya. Pasti asyik nih kalian setiap hari bisa makan
rambutan,” kata Tiyo.
“Biasanya
rambutan ini dijual. Paling sebentar lagi ada pembeli. Namun, sebelum dibeli,
Kamu bisa memetik sepuasnya Tiyo,” kata Risty.
“Kamu
suka rambutan kan?” tanya Roby.
“Wah,
asyik nih. Aku sangat suka rambutan, apalagi yang warnanya merah, pasti rasanya
sangat manis.”
Tiyo
dan Roby pun memanjat pohon rambutan untuk memetik buah-buahnya yang sudah
berwarna merah. Sedangkan Risty menunggu di bawah untuk mengumpulkan hasil buah
yang dipetik. Pohon rambutan di kebun Pak Har tidak terlalu tinggi sehingga
mereka berani memanjatnya. Walaupun tidak tinggi, tetapi buahnya sangat banyak.
Sambil memetik, kadang Tiyo langsung memakan buah rambutan di atas pohon.
Setelah
terkumpul banyak, mereka pun menikmati buah rambutan langsung di bawah
pohonnya. Tiyo tampak paling lahap memakan buah kesukaannya itu daripada Risty
dan Roby. Dari kejauhan, tampak mama Tiyo memanggil.
“Tiyo,
Kamu sedang apa?”
“Sedang
makan rambutan dengan Risty dan Roby. Rambutannya manis-manis!”
“O..ya
sudah. Eh, tapi awas jangan banyak-banyak makannya, nanti bisa mules perutmu!”
“Enggak
kok Ma. Mama tenang saja.”
“Iya
Tiyo, makan secukupnya saja. Nanti kamu bisa membawa pulang banyak kok,” kata
Risty.
“Pokoknya
nanti bawa sebanyak-banyaknya. Semua gratis untuk kamu.” kata Roby menambahkan.
Namun,
Tiyo tetap makan dan terus makan. Ia sepertinya tidak ingin berhenti memakan buah
yang rasanya manis itu. Ia sampai bersendawa keras sekali sehingga Risty dan
Roby tertawa terpingkal-pingkal. Tiyo pun ikut tertawa juga. Akhirnya Tiyo
menghentikan makan rambutan. Sebenarnya mulutnya masih ingin makan rambutan,
tetapi perutnya terasa sudah sangat penuh. Tiyo merasa sangat kenyang.
“Terima
kasih ya Ris dan Roby, aku bisa makan rambutan hingga perutku kenyang,” kata
Tiyo.
“Sama-sama,”
kata Risty dan Roby berbarengan.
“Tapi
nanti aku masih bisa membawa pulang kan?”
“Iya
boleh, tetapi dimakan besok saja. Tuh, perutmu sampai gendut kebanyakan makan
rambutan,” kata Risty.
“Iya
tuh, wajahmu juga sampai mirip rambutan,” Roby pun ikut menimpali.
“Ha
ha ha,” mereka tertawa bersama-sama.
Tiyo
dan keluarganya tidak menginap di rumah Paman Har. Sorenya mereka berpamitan
pulang ke Solo. Tiyo tidak lupa mengucapkan terima kasih lagi kepada Risty dan
Roby, juga Paman Har karena ia bisa membawa pulang banyak sekali buah rambutan.
Dalam
perjalanan pulang, Tiyo tidak bisa duduk dengan tenang di dalam mobil. Ia
merasa mual. Perutnya terasa perih sekali. Tiyo pun muntah-muntah di dalam
mobil. Pak Anton dan istrinya khawatir dengan Tiyo. Namun, Pak Anton tak lekas
panik. Ia mencari rumah sakit yang paling dekat.
Tiba
di rumah sakit, Tiyo diperiksa dokter. Ternyata perut Tiyo sakit karena
kebanyakan makan buah rambutan.
“Tuh
kan, Tiyo tidak mendengarkan nasihat
Mama,” kata mama Tiyo.
“Iya,
maaf Ma”
“Sebenarnya
makan buah itu baik untuk kesehatan, tetapi kalau terlalu banyak, bisa membuat
sakit, seperti kamu sekarang ini,” kata Dokter kepada Tiyo.
“Iya,
Dok, sekarang saya kapok makan buah rambutan terlalu banyak,” kata Tiyo
menyesal.
Cerita anak ini dimuat di Solopos, 18 Desember 2011
Posting Komentar untuk "Cerita Anak "Musim Rambutan""